Dua pendaki, Deden Yudi yang berusia 42 tahun dan anaknya, Zaizafan Dhiya, menjadi perhatian publik setelah dilaporkan hilang di jalur pendakian Gunung Bukittunggul, yang terletak di Lembang, Kabupaten Bandung. Keputusan mereka untuk mendaki dalam kondisi yang tidak sepenuhnya aman, terutama dengan adanya masalah keluarga sebelumnya, menarik perhatian banyak orang mengenai keselamatan pendakian.
Saat melaksanakan pendakian pada Rabu, 15 Oktober, Deden dan putranya berencana untuk kembali dalam satu hari. Namun, hilangnya kontak dengan mereka selepas waktu tersebut menyebabkan tim penyelamat dibentuk untuk menemukan keduanya. Berkat upaya tanpa kenal lelah, tim SAR akhirnya berhasil menemukan Deden dan Zaizafan pada Jumat siang.
Kisah ini menjadi pembelajaran penting tentang keselamatan saat mendaki gunung. Selain itu, masalah keluarga sebelum pendakian juga memberi pemahaman tentang betapa stresnya situasi yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam menjalani aktivitas berisiko.
Momen Awal Pendakian yang Mengkhawatirkan
Berdasarkan informasi yang didapat, mereka terakhir kali terlihat di Pos 2 jalur Gunung Bukittunggul. Sumber lokal melaporkan bahwa meskipun sudah berada di Pos 2, Deden dan Zaizafan memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak dan memilih jalur turun yang tidak resmi, yang menjadi titik pencarian bagi tim SAR.
Setelah keputusan untuk turun, hilangnya jejak mereka menjadi misteri. Keberanian mereka dalam mendaki tanpa pengetahuan penuh tentang trek yang berbahaya turut memicu keprihatinan dari para pendaki lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memilih jalur yang aman dan dikenal dalam aktivitas pendakian.
Penting untuk memiliki rute yang jelas dan mengikuti pendaki berpengalaman demi menghindari situasi berbahaya seperti kehilangan arah. Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bagi mereka yang hobi mendaki gunung.
Masalah Keluarga Sebelum Pendakian
Menurut keterangan dari Kang John, seorang petugas di basecamp Lembah Tengkorak, Deden dan Zaizafan sezaman mengalami masalah keluarga sebelum keberangkatan. Pencarian mereka menjadi tidak hanya tentang fisik, tetapi juga mengatasi isu pribadi yang membebani pikiran mereka.
Diketahui bahwa Deden sudah bercerai dengan ibu Zaizafan, dan masalah tersebut dapat memengaruhi kejiwaan serta kapasitas mereka saat berada di trek. Keluarga dan teman-teman mereka tentu merasa khawatir tentang dampak dari situasi ini terhadap kondisi mental Deden dan putranya.
Ketegangan sebelumnya dapat menjadi penghalang saat mencapai tujuan pendakian, membuat pentingnya komunikasi dalam keluarga, untuk memecahkan permasalahan sebelum melakukan perjalanan yang berisiko.
Penerapan Tim Gabungan dalam Operasi Pencarian
Kabar tentang hilangnya Deden dan Zaizafan mendorong pembentukan tim gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, dan relawan setempat untuk melakukan pencarian di area Gunung Bukittunggul. Penanganan cepat oleh tim SAR sangat penting untuk meningkatkan peluang menemukan mereka dalam keadaan selamat.
Menurut Kepala Kantor SAR Bandung, Ade Dian Permana, tim mencari menggunakan metode ‘hasty search’ atau pencarian cepat. Dalam metode ini, mereka akan fokus pada area yang diduga sebagai tempat hilangnya korban berdasarkan jejak dan barang-barang tertinggal.
Tim dari Basecamp Lembah Tengkorak juga ikut berperan aktif dalam pencarian, tetapi sayangnya, tidak menemukan bukti-bukti keberadaan Deden dan Zaizafan pada pencarian awal. Kerja sama antara tim resmi dan masyarakat lokal menciptakan kekuatan lebih dalam pencarian.
Pengakuan Mengenai Pengalaman Mendaki yang Tidak Terduga
Setelah ditemukan, Deden mengungkapkan bahwa itu adalah pengalaman pertamanya mendaki Gunung Bukittunggul dan dia tidak memiliki rencana untuk camping. Dia menyatakan, “Saya baru pertama kali ini. Enggak niat camping, cuma hiking aja,” yang menunjukkan kurangnya persiapan untuk pendakian tersebut.
Kepanikan mulai muncul saat mereka tersesat di tengah hutan. Deden merasa bingung dan tidak menyadari bahwa jalan yang mereka lalui tidak sama dengan saat mendaki. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya pemahaman arah dan rute saat melakukan pendakian.
Malam yang mereka lalui penuh ketidakpastian, dan situasi ini sangat berisiko terutama untuk seorang anak. Kesalahan dalam perencanaan dan keputusan mendaki dalam ketidakstabilan mental bisa membawa konsekuensi yang serius.
Pentingnya Persiapan dan Kesiapan Mental saat Mendaki
Deden menyadari bahwa karena mereka tidak merencanakan untuk camping, mereka tidak membawa cukup perbekalan. Kekurangan logistik ini membuat mereka tidak bisa bertahan lebih dari satu malam di luar ruangan. Situasi ini sangat berbahaya bagi pendaki, terutama dengan kondisi cuaca yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Dalam keadaan terdesak, Deden teringat teknik bertahan hidup yang pernah dilihat di YouTube, khususnya dalam mencari sumber air. Hal ini menyoroti pentingnya pengetahuan dan keterampilan dasar saat menghabiskan waktu di alam. Belajar tentang kelangsungan hidup di alam bisa menjadi keahlian yang sangat berguna di situasi seperti ini.
Akhirnya, tim SAR yang bekerja keras menemukan Deden dan Zaizafan di lembah Gunung Pasanggrahan. Anaknya tampak baik-baik saja, meskipun pengalaman yang mereka jalani sangat menegangkan dan mungkin akan menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi mereka.