Keraton Surakarta Hadiningrat, sebuah simbol warisan budaya di Indonesia, kini berada dalam situasi yang kompleks. Dua sosok telah muncul dengan klaim masing-masing sebagai Pakubuwono XIV, menggambarkan dinamika internal yang tidak jarang terjadi dalam sejarah keraton ini.
Kejadian ini berawal setelah wafatnya Pakubuwono XIII, di mana masing-masing pihak merujuk pada pendapat dan interpretasi yang berbeda mengenai suksesi takhta. Dalam konteks ini, kehidupan politik di Keraton Surakarta menjadi semakin menarik untuk disimak.
Gusti Purbaya adalah salah satu sosok yang mengklaim dan telah dilantik sebagai Raja Keraton Surakarta. Proses pelantikannya melalui upacara Jumenengan Dalem Nata Binayangkare menambah dramatisasi kisah suksesi ini. Momen tersebut menciptakan harapan dan antusiasme di kalangan pengikut dan rakyat keraton.
Namun, situasi tak sederhana; KGPH Mangkubumi, putra tertua mendiang Pakubuwono XIII, juga mengklaim sebagai pewaris sah. Ketidaksepakatan ini menunjukkan adanya perpecahan dalam keluarga besar keraton, yang dapat memengaruhi stabilitas dan kesinambungan budaya keraton itu sendiri.
Proses Pelantikan dan Upacara Tradisional di Keraton Surakarta
Pelantikan Gusti Purbaya berlangsung dengan khidmat, dihadiri oleh sejumlah kerabat dan tokoh penting. Upacara ini dilaksanakan di Bangsal Manguntur Tangkil, bagian dari kompleks Keraton. Tradisi dan ritual dalam pelantikan mencerminkan kearifan lokal yang sangat dijunjung tinggi.
Jumenengan yang dilaksanakan ini, merupakan simbolisasi bahwa seorang pemimpin harus menjalankan tanggung jawabnya bukan hanya secara spiritual, tetapi juga sosial. Dalam konteks ini, Gusti Purbaya berjanji untuk mematuhi syariat Islam dan menjaga tradisi adat keraton.
Setiap tahap dari upacara memiliki makna yang dalam, termasuk sumpah dan janji yang diucapkan di hadapan para saksi. Ini mengisyaratkan harapan agar pemimpin baru dapat membawa perubahan positif bagi keraton dan masyarakat di sekitarnya.
Klaim Takhta dan Kontroversi di Dalam Keraton
Sementara Gusti Purbaya merayakan pelantikannya, KGPH Mangkubumi tidak tinggal diam. Ia merasa berhak atas takhta berdasarkan hukum adat dan tradisi yang menggerakkan keluarga keraton. Ketidakpuasan ini telah mengarah pada pertemuan di Sasana Handrawina, yang dihadiri oleh anak-anak Pakubuwono XIII.
Kedua pihak, dalam hal ini, berusaha mencari legitimasi masing-masing, mencerminkan kompleksitas dalam pewarisan gelar di lingkungan keraton. Keputusan dan pendapat dari adik-adik mendiang raja turut memengaruhi situasi ini secara signifikan.
Pertemuan tersebut berujung pada penobatan Mangkubumi sebagai calon raja, menyulut lebih banyak perdebatan di kalangan kerabat kerajaan. Hal ini memperlihatkan bahwa penentuan pewaris takhta lebih dari sekadar tradisi, melainkan juga permainan kekuasaan di dalam keluarga keraton.
Sejarah Dualisme dalam Kepemimpinan Keraton Surakarta
Situasi dualisme ini bukanlah hal baru dalam sejarah Keraton Surakarta. Pada tahun 2004, misalnya, terjadi perselisihan serupa antara KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan, yang masing-masing mengklaim sebagai Pakubuwono XIII. Persaingan yang ada menunjukkan benang merah yang sama dalam konflik kepemimpinan di keraton.
Perseteruan ini berakar dari absennya konsensus dalam pewarisan mutlak dari Pakubuwono XII, yang tak memiliki permaisuri meskipun memiliki anak laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa, di balik kemewahan dan kedudukan, terdapat dinamika yang rumit namun menarik di dunia keraton.
Dalam konteks sejarah ini, kita dapat melihat betapa pentingnya kesepakatan dan dialog dalam upaya meraih legitimasi. Jika tidak, perjalanan sejarah keraton ini berpotensi terulang kembali dengan konflik yang tidak jarang diwarnai oleh ambisi pribadi.
