Perekonomian Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius, terlihat dari pertumbuhan penyaluran kredit yang semakin melambat. Pada bulan Oktober 2025, pertumbuhan kredit hanya mencatatkan kenaikan sebesar 7,36% secara tahunan, turun sedikit dari 7,7% pada bulan sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa animo masyarakat dan pelaku usaha terhadap pinjaman semakin berkurang, di tengah upaya pemerintah yang telah menggelontorkan likuiditas lebih dari Rp200 triliun ke bank-bank terpilih.
Kinerja yang lesu dalam penyaluran kredit ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi sektor perbankan. Meskipun secara makro ekonomi diproyeksikan akan tumbuh lebih cepat, realisasi di lapangan tidak menunjukkan hal yang sama. Dalam rapat dewan gubernur baru-baru ini, Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam rentang 4,7% hingga 5,5%.
Banyak bankir sepakat bahwa penurunan fungsi intermediasi perbankan ini disebabkan oleh sisi permintaan yang rendah. Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menyatakan bahwa saat ini tidak banyak permintaan untuk kredit produktif maupun konsumtif, sehingga perbankan harus bersikap realistis dalam menghadapi kenyataan yang ada.
Lani juga menegaskan pentingnya kualitas aset kredit, menyebut bahwa perbankan bertindak sebagai enabler bagi masyarakat yang membutuhkan pembiayaan. Hal ini berarti bahwa kredit tidak dapat dipaksakan, karena kualitas nasabah yang baik akan meminjam hanya jika benar-benar membutuhkan.
Analisis Penyebab Lemahnya Permintaan Kredit di Indonesia
Menurut analisis yang dilakukan oleh para pemimpin bank, kelemahan dalam pertumbuhan kredit lebih banyak dipengaruhi oleh permintaan daripada pasokan. Presiden Direktur Maybank Indonesia, Steffano Ridwan, menegaskan bahwa meskipun likuiditas mencukupi, banyak pelaku usaha memilih untuk menunggu sebelum mengambil keputusan pinjaman.
Keputusan untuk menunggu ini, menurut Steffano, diakibatkan oleh ketidakpastian yang meliputi lingkungan bisnis, termasuk faktor geopolitik dan daya beli masyarakat yang menurun. Kadar ketidakpastian ini membuat banyak pelaku usaha berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk meminjam.
Sementara itu, Bank Tabungan Negara tetap bisa mencatatkan pertumbuhan meskipun pertumbuhannya terbatas. Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu, mengakui bahwa pertumbuhan hanya sedikit, namun cukup untuk menunjukkan bahwa setidaknya ada sektor yang masih menggeliat di tengah ketidakpastian ini.
Masalah yang dihadapi bank saat ini, seperti yang dijelaskan oleh pengamat perbankan Paul Sutaryono, bukan berasal dari kurangnya likuiditas, melainkan dari permintaan rendah yang dihadapi oleh pihak perbankan. Terdapat resiko lebih besar yang dihadapi bank jika kredit tidak ditarik oleh nasabah.
Daya Beli Masyarakat dan Implikasinya terhadap Kredit
Paul mencatat bahwa salah satu alasan utama rendahnya permintaan kredit adalah lemahnya daya beli masyarakat. Hal ini menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi di sektor riil juga kurang diminati. Ketidakmampuan masyarakat untuk membeli menandakan bahwa aktivitas ekonomi di lapangan juga tidak berjalan optimal.
Akibatnya, jumlah kredit yang disetujui tetapi belum ditarik atau yang dikenal sebagai undisbursed loan meningkat tajam. Data menunjukkan bahwa jumlah ini mencapai Rp 2.450,7 triliun atau sekitar 22,97% dari plafon kredit yang ada. Ini merupakan sinyal bahwa banyak nasabah yang enggan menarik kredit yang sudah mereka ajukan.
Untuk mengatasi masalah ini, Paul mendorong pemerintah untuk lebih proaktif dalam menciptakan lapangan kerja baru. Mengingat bahwa jika kesempatan kerja tidak diciptakan dengan seimbang, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat terjadi lebih cepat, yang pada akhirnya akan semakin memperburuk situasi ekonomi.
Pemerintah juga digarisbawahi untuk terus berjuang melawan korupsi dan berbagai pungutan liar, yang diketahui dapat meningkatkan berat biaya operasional dunia usaha. Dengan menurunkan biaya operasional, diharapkan sektor riil dapat lebih berdaya saing dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Peluang dan Strategi untuk Mendorong Pertumbuhan Kredit ke Depan
Ke depan, perlu dirumuskan strategi yang lebih sistematis untuk dapat mendorong pertumbuhan kredit di Indonesia. Kolaborasi antara pemerintah dan sektor perbankan sangat penting untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Masyarakat harus diberi kepercayaan melalui berbagai program penyuluhan mengenai pentingnya penggunaan kredit secara bijak.
Inovasi produk perbankan dan berbagai program stimulus dari pemerintah bisa menjadi kunci dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Ini bisa meliputi berbagai skema kredit dengan bunga ringan atau program subsidi untuk sektor-sektor yang paling membutuhkan.
Selain itu, penyesuaian kebijakan moneter dan fiskal juga dapat dioptimalkan agar masyarakat merasakan manfaat langsung. Upaya ini harus disertai dengan komunikasi yang jelas agar masyarakat memahami tujuan dari setiap kebijakan yang diterapkan.
Poin penting lainnya adalah edukasi keuangan bagi masyarakat. Masyarakat perlu memahami bahwa dengan pengelolaan keuangan yang baik, pinjaman bisa menjadi alat yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan, bukan beban di masa depan.
