Nenek Elina Widjajanti asal Surabaya mengalami situasi yang tragis ketika sekelompok orang memaksa untuk mengusirnya dari rumahnya sendiri. Kejadian ini memicu serangkaian tindakan hukum dan pemeriksaan dari pihak berwenang untuk menyelidiki dugaan pengusiran yang terjadi pada dirinya.
Selama pemeriksaan yang dilakukan di Polda Jawa Timur, Elina mengungkapkan tekanan yang dialaminya saat berusaha mempertahankan haknya atas rumah tempat tinggal selama lebih dari satu dekade. Ia ditanya berbagai hal oleh penyidik, termasuk identitas dan peran pihak-pihak terlibat dalam insiden tersebut.
Elina merasa terdesak dan bingung dengan situasi yang dihadapinya, khususnya ketika seseorang bernama Samuel mengklaim telah membeli rumah tersebut. Meskipun demikian, Samuel ternyata tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikannya, membuat kasus ini semakin rumit.
Pengusiran yang Membangkitkan Ketidakadilan
Pengusiran Elina dari rumahnya terjadi pada 6 Agustus 2025, ketika ia didatangi oleh puluhan orang yang mendesaknya untuk keluar. Momen ini menjadi puncak dari konflik yang sudah berlangsung, di mana identitas orang-orang yang mengusirnya menjadi pertanyaan besar. Sejumlah besar orang dengan atribut ormas terlihat terlibat dalam pengusiran tersebut.
Ketika diusir, Elina menolak untuk pergi, merasa bahwa haknya sebagai penghuni sah rumah itu dilanggar. Perlawanan yang dilakukan membawa konsekuensi, di mana ia bahkan diangkat secara paksa oleh beberapa orang yang mengklaim memiliki hak atas rumah tersebut. Situasi tersebut menunjukkan betapa rentannya posisi Elina di mata hukum dan perekonomian.
Kuasa hukum Elina, Wellem Mintarja, menilai bahwa tindakan para pengusir telah melanggar hukum. Dalam pandangannya, seharusnya ada proses legal yang harus dilalui jika seseorang ingin mengambil alih kepemilikan rumah. Hal ini menjadi pertanyaan tentang validitas klaim Samuel dan tindakan yang diambil oleh ormas yang terlibat.
Dokumen dan Surat yang Dipertanyakan
Elina memiliki surat letter C yang mencatat tentang kepemilikan rumah tersebut atas namanya dan almarhum kakaknya, Elisa. Meskipun ia yakin akan haknya, pengusir tidak memberikan toleransi dan malah memaksa keluar meski tanpa menunjukkan surat resmi yang menyatakan kepemilikan baru.
Tindakan Samuel yang tidak mampu menunjukkan bukti kepemilikan resmi menjadi gambaran buram dari proses jual beli yang tidak transparan. Elina beranggapan bahwa semua orang seharusnya diperlakukan adil dalam proses hukum, termasuk dalam hal kepemilikan properti.
Orang-orang yang terlibat dalam pengusiran, seperti Iwan, Joni, dan Musrimah juga dalam proses pemeriksaan sebagai saksi. Pemanggilan ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang sangat merugikan Elina dan mungkin melanggar prinsip-prinsip keadilan.
Proses Hukum dan Harapan untuk Keadilan
Pemeriksaan kasus ini diharapkan dapat memberikan jawaban yang jelas tentang apa yang terjadi di dalam rumah tersebutPada akhirnya, harapan Elina adalah mendapatkan keadilan dalam kasus ini, di mana dia dapat membuktikan bahwa rumah tersebut adalah tempat yang sah untuk dia tinggali bersama kenangan yang ada.
Kepemilikan rumah seharusnya dilindungi oleh hukum, dan setiap individu, terutama mereka yang lebih rentan, berhak atas perlindungan yang setara. Elina adalah representasi dari banyak orang yang merasa terpinggirkan dan harus melawan untuk mendapatkan hak mereka di masyarakat.
Penting untuk mengingat bahwa setiap tindakan kekerasan atau ancaman yang dialami seseorang dalam proses pengusiran harus direspons secara hukum. Proses panjang ini diharapkan membawa kejelasan dan keputusan yang mendukung hak-hak perempuan dan orang-orang tua yang seringkali menjadi korban situasi tak terduga.
