Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat pada awal November 2025 mencatat angka Rp 16.685 per US$. Hal ini mengingatkan pada situasi krisis ekonomi Indonesia dua dekade silam, yang menghadapi tantangan serupa pada tahun 1998.
Pada masa itu, Dolar AS juga hampir mencapai level yang sama, yakni Rp 16.800. Namun, keadaan saat itu jauh lebih buruk karena lonjakan nilai Dolar terjadi secara cepat, memicu krisis multi dimensi yang juga berdampak pada politik nasional.
Perubahan mendasar ini berujung pada jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Meski terjadi pergantian kepemimpinan, situasi pasar tetap tidak menunjukkan optimisme. B.J. Habibie, pengganti Soeharto, dianggap tidak mampu menangani masalah ekonomi yang tengah melanda.
Habibie, yang dikenal sebagai seorang teknokrat dalam industri penerbangan, tidak memiliki latar belakang sebagai ekonom. Sejumlah pihak bahkan meragukan kemampuannya untuk mengatasi krisis yang menggedor negara saat itu, termasuk Presiden Singapura yang pesimis akan perubahan yang dibawa Habibie.
Namun, meskipun ada skeptisisme yang melingkupinya, B.J. Habibie berhasil mengatasi krisis ekonomi melalui tiga langkah utama yang terbukti efektif.
Langkah Pertama: Restrukturisasi Sistem Perbankan di Indonesia
Era Orde Baru memberikan kemudahan pendirian bank, namun kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan tata kelola yang baik. Akibatnya, banyak bank yang tidak berdaya saat krisis melanda, yang menyebabkan penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabah.
Habibie kemudian mengambil langkah signifikan dalam merestrukturisasi sektor perbankan. Dia meyakini bahwa dengan memperkuat Bank Indonesia (BI), stabilitas ekonomi dapat dipulihkan, dimulai dengan penggabungan empat bank milik pemerintah menjadi satu entitas bernama Bank Mandiri.
Keputusan untuk memisahkan Bank Indonesia dari intervensi pemerintah juga berkontribusi besar dalam penguatan rencana ini. Dalam otobiografinya, Habibie menyatakan bahwa independensi bank sentral sangat penting untuk menjaga objektivitas dan mencegah pengaruh politik yang dapat merusak stabilitas ekonomi.
Langkah Kedua: Kebijakan Moneter yang Ketat dan Tepat
Untuk menanggulangi krisis, Habibie menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga tinggi. Langkah ini bertujuan untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan yang tengah terpuruk.
Dengan adanya SBI, kepercayaan masyarakat terbangun kembali, dan suku bunga yang awalnya menyentuh 60% bisa ditekan menjadi belasan persen. Kebijakan ini terbukti berhasil menurunkan peredaran uang di masyarakat, yang sebelumnya berlebihan di tengah ketidakpastian ekonomi.
Habibie mengklaim bahwa reformasi moneter ini berhasil. Keberhasilan tersebut juga berkontribusi pada meningkatnya stabilitas pasar dan mendorong investor untuk kembali menanamkan modal mereka di Indonesia.
Langkah Ketiga: Pengendalian Harga Bahan Pokok yang Efektif
Kesadaran akan pentingnya kebutuhan bahan pokok memicu Habibie untuk menjaga stabilitas harga, terutama untuk listrik dan bahan bakar minyak. Kebijakan subsidi dipertahankan agar harga tetap terjangkau di tengah krisis untuk menjaga daya beli masyarakat.
Pernyataan Habibie untuk menganjurkan rakyat berpuasa sebagai langkah untuk lebih berhemat menimbulkan berbagai reaksi. Dalam satu pidato, ia menyerukan agar masyarakat mengurangi pengeluaran pribadi demi menghadapi masa sulit ini.
Berkat langkah-langkah tersebut, kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia kembali terbangun. Aliran dana dari investor mulai mengalir kembali, dan nilai Dolar AS berhasil menurun ke level Rp 6.550, menandakan pemulihan stabilitas dalam perekonomian nasional.
Dengan begitu, Habibie telah membuktikan bahwa meski dalam situasi krisis, kebijakan yang tepat dan keputusan yang strategis dapat membawa perubahan signifikan. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, Rupiah berhasil diperkuat dan kepercayaan global terhadap ekonomi Indonesia kembali meningkat.
